Jabatan Fungsional

Jabatan Fungsional dan Tunjangan Fungsional

Pedoman Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Widyaiswara

Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang selanjutnya disingkat Dikjartih PNS, dan melakukan Evaluasi dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya disingkat Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah.

Formasi Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah jumlah dan susunan Jabatan Fungsional Widyaiswara PNS yang diperlukan oleh suatu Lembaga Diklat Pemerintah untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam jangka waktu tertentu.

Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk Dikjartih PNS, dan melakukan Evaluasi dan Pengembangan Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah.

Pedoman Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Widyaiswara

Download Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pedoman Penilaian Angka Kredit JabFung Widyaiswara.

Pedoman ini bertujuan untuk memberikan acuan kepada Widyaiswara dan Tim Penilai dalam melaksanakan penilaian dan penghitungan angka kredit. Dengan tujuan tersebut diatas, maka sasaran yang ingin dicapai oleh Pedoman ini adalah:

  1. Adanya persamaan persepsi dalam penilaian dan penghitungan angka kredit;
  2. Penilaian dan penghitungan angka kredit bisa dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:

  1. Bidang Spesialisasi Widyaiswara adalah keahlian yang dimiliki oleh Widyaiswara yang didasarkan pada rumpun keilmuan tertentu sesuai latar belakang pendidikan dan/atau pengalaman kerjanya.
  2. Kompetensi Widyaiswara adalah pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh Jabatan Fungsional Widyaiswara yang meliputi kompetensi pengelolaan pembelajaran, substansi, kepribadian, dan sosial.
  3. Dikjartih adalah proses belajar mengajar dalam Diklat baik secara klasikal dan/atau non klasikal.
  4. Lembaga Diklat Pemerintah adalah satuan organisasi pada Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Negara, dan Perangkat Daerah yang bertugas melakukan pengelolaan Diklat dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
  5. Diklat Fungsional adalah Diklat yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi jabatan fungsional yang sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan masing-masing.
  6. Diklat Teknis adalah Diklat yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS.
  7. Diklat Prajabatan adalah Diklat yang diselenggarakan untuk membentuk PNS yang profesional yaitu PNS yang karakternya dibentuk oleh nilai-nilai dasar profesi PNS, sikap dan perilaku displin PNS, dan pengetahuan tentang kedudukan dan peran PNS dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga mampu melaksanakan tugas dan perannya secara profesional sebagai pelayan masyarakat.
  8. Diklat Calon Widyaiswara adalah Diklat yang dipersyaratkan bagi PNS yang akan diangkat dalam jabatan Fungsional Widyaiswara.
  9. Diklat Teknis adalah Diklat yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS.
  10. Peserta Diklat Non Aparatur Sipil Negara adalah individu yang menjadi peserta Diklat sebagai bagian dari masyarakat binaan instansi sesuai tugas dan fungsi dari Lembaganya.
  11. Ruang lingkup kediklatan adalah segala kegiatan yang terkait dengan terselenggaranya Diklat, mulai dari masukan, proses, hasil, keluaran, dan manfaat serta substansi Diklat.
  12. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya.
  13. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Widyaiswara yang selanjutnya disebut Tim Penilai adalah tim yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan bertugas menilai prestasi kerja Widyaiswara.
  14. Organisasi Profesi adalah organisasi profesi jabatan fungsional Widyaiswara.
  15. Standar kompetensi Widyaiswara adalah kemampuan minimal yang secara umum dimiliki oleh Widyaiswara dalam melaksanakan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS, yang terdiri atas kompetensi pengelolaan pembelajaran, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi substantif.
  16. Spesialisasi Widyaiswara adalah keahlian yang dimiliki oleh Widyaiswara yang didasarkan pada rumpun keilmuan tertentu sesuai latar belakang pendidikan dan/atau pengalaman kerjanya.
  17. Sertifikasi adalah proses pengakuan atas kelayakan Widyaiswara dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, wewenangnya untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih mata Diklat tertentu melalui uji kompetensi dengan merujuk pada standar kompetensi Widyaiswara.
  18. Jam Pelajaran (JP) adalah satuan waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran Diklat, dimana 1 (satu) JP adalah 45 (empat puluh lima) menit.
  19. Team Teaching adalah kegiatan tatap muka pada satu mata Diklat yang melibatkan paling banyak 2 (dua) orang Widyaiswara yang ditentukan dalam kompetensi dasar dan indikator keberhasilan untuk tiap mata Diklatnya dengan mempertimbangkan aspek kompetensi yang ingin dicapai, materi Diklat, jumlah peserta beserta metode pembelajarannya dengan waktu paling sedikit 9 JP yang memerlukan pendalaman dalam bentuk perkonsultasian.

Pedoman Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan

Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Pedoman digunakan sebagai acuan pelaksanaan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan pada seluruh instansi Pusat dan Daerah.

Penyelenggaraan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan

Peraturan Kepala ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Download Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara nomor 33 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan JabFung Analis Kebijakan.

Menimbang :

  1. bahwa pelatihan fungsional dan teknis bagi analis kebijakan ditujukan untuk mempersiapkan, membentuk dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme analis kebijakan dalam melaksanakan kajian dan analisis kebijakan;
  2. bahwa Pasal 6 dan Pasal 28 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya, mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, dipandang perlu untuk menyusun Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan;
  4. bahwa pedoman sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan dengan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5121);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Indonesia Tahun 2000 Nomor 194, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4332);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4016) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4017) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4019);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4263), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 164);
  8. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 235);
  9. Peraturan Presiden nomor 57 Tahun 2013 tentang Lembaga Administrasi Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 127);
  10. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 193/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Umum Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;
  11. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/75/M.PAN/7/2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil;
  12. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 14 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Administrasi Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1245);
  13. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor1342);
  14. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Analis Kebijakan;
  15. Peraturan Bersama Kepala Lembaga Administrasi Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional

Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan

Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan adalah jabatan dalam lingkungan instansi Kehutanan Pusat dan Daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.

Polisi Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan instansi Kehutanan Pusat dan Daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pedoman formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Daerah dalam menyusun formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan.

Tujuan pedoman formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan agar terjadi keseragaman metode dalam menyusun, menghitung, menentukan dan menetapkan formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan di Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan terdiri dari:
a. Polisi Kehutanan Terampil;
b. Polisi Kehutanan Ahli.

Jenjang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan Terampil dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu:
a. Polisi Kehutanan Pelaksana Pemula;
b. Polisi Kehutanan Pelaksana;
c. Polisi Kehutanan Pelaksana Lanjutan; dan
d. Polisi Kehutanan Penyelia.

Jenjang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan Ahli dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu:
a. Polisi Kehutanan Pertama;
b. Polisi Kehutanan Muda; dan
c. Polisi Kehutanan Madya.

Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan

Penyusunan formasi Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dengan alur kerja sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi susunan seluruh jenjang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan yang diperlukan berdasarkan kedudukannya dalam struktur organisasi Satuan Kerja Pusat/Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Gambar 1. Peta Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan, Peraturan Menteri ini.
  2. Menginventarisasi kegiatan kepolisian kehutanan yang dilakukan oleh masing – masing jenjang jabatan sesuai kedudukannya dalam struktur organisasi dengan memperhatikan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Satuan Kerja.
  3. Menghitung volume pekerjaan (V) selama 1 (satu) tahun pada kondisi ideal untuk masing – masing kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
  4. Menghitung waktu penyelesaian volume (Wpv) masing-masing kegiatan untuk setiap jenjang jabatan Polisi Kehutanan dengan cara mengalikan waktu penyelesaian butir kegiatan (Wpk) dengan volume masing-masing butir kegiatan untuk setiap jenjang jabatan Polisi Kehutanan, atau dengan formula sebagai berikut:
    Wpv = Wpk x V
    Keterangan:
    Wpv = Waktu penyelesaian volume masing-masing kegiatan dalam 1 (satu) tahun.
    Wpk = Waktu penyelesaian butir kegiatan.
    V = Volume masing-masing kegiatan dalam 1 (satu) tahun.

Download Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor P.22/MenLHK-II/2015 tentang Pedoman Formasi JabFung Polisi Kehutanan.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Polisi Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan instansi Kehutanan Pusat dan Daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  2. Polisi Kehutanan Terampil adalah pejabat fungsional Polisi Kehutanan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu.
  3. Polisi Kehutanan Ahli adalah pejabat fungsional Polisi Kehutanan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan, metodologi dan teknik analisis tertentu.
  4. Formasi Jabatan Polisi Kehutanan adalah jumlah dan jenjang jabatan Polisi Kehutanan yang diperlukan oleh suatu unit kerja pengamanan dan perlindungan hutan untuk mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam jangka waktu tertentu.
  5. Angka Kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional Polisi Kehutanan dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat/jabatan.
  6. Jam kerja efektif adalah jam kerja yang secara nyata digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan dari kegiatan unsur utama.
  7. Satuan kerja adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah/Institusi yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
  8. Beban kerja adalah sejumlah target pekerjaan atau target hasil yang harus dicapai dalam satu satuan waktu tertentu.
  9. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  10. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota.

Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan

Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengendalian ekosistem hutan.

Pedoman formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Daerah dalam menyusun formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan.

Tujuan pedoman formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan agar terjadi keseragaman metode dalam menyusun, menghitung, menentukan dan menetapkan formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan

Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan terdiri dari:
a. PEH Tingkat Terampil;
b. PEH Tingkat Ahli.

Jenjang JabFung PEH Terampil dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu:
a. PEH Pelaksana Pemula;
b. PEH Pelaksana;
c. PEH Pelaksana Lanjutan; dan
d. PEH Penyelia.

Jenjang JabFung PEH Ahli dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu:
a. PEH Pertama;
b. PEH Muda; dan
c. PEH Hutan Madya.

Penyusunan formasi Jabatan Fungsional PEH dengan alur kerja sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi susunan seluruh jenjang Jabatan Fungsional PEH yang diperlukan berdasarkan kedudukannya dalam struktur organisasi Satuan Kerja Pusat/Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Gambar 1. Peta Jabatan Fungsional PEH, Peraturan Menteri ini.
  2. Menginventarisasi kegiatan pengendalian ekosistem hutan yang dilakukan oleh masing – masing jenjang jabatan sesuai kedudukannya dalam struktur organisasi dengan memperhatikan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Satuan Kerja.
  3. Menghitung volume pekerjaan (V) selama 1 (satu) tahun pada kondisi ideal untuk masing – masing kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
  4. Menghitung waktu penyelesaian volume (Wpv) masing-masing kegiatan untuk setiap jenjang jabatan Pengendali Ekosistem Hutan dengan cara mengalikan waktu penyelesaian butir kegiatan (Wpk) dengan volume masing-masing butir kegiatan untuk setiap jenjang jabatan PEH, atau dengan formula sebagai berikut:
    Wpv = Wpk x V
    Keterangan:
    Wpv = Waktu penyelesaian volume masing-masing kegiatan dalam 1 (satu) tahun.
    Wpk = Waktu penyelesaian butir kegiatan.
    V      = Volume masing-masing kegiatan dalam 1 (satu) tahun.

Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada peraturan berikut:

Download Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.24/MenLHK-II/2015 tentang Pedoman Formasi JabFung Pengendali Ekosistem Hutan.

Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi

Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pembinaan jasa konstruksi yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.

Pembina Jasa Konstruksi adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pembinaan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Pejabat Pembina Kepegawaian dalam menyusun formasi jabatan fungsional Pembina Jasa Konstruksi di instansi masing-masing. Peraturan Menteri ini bertujuan agar pelaksanaan pembinaan jabatan fungsional Pembina Jasa Konstruksi pada organisasi yang melaksanakan fungsi pembinaan jasa konstruksi dapat berjalan dengan tertib sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.

Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi

Download Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 25/PRT/M/2015 Tentang Pedoman Penyusunan Formasi JabFung Pembina Jasa Konstruksi.

Ruang lingkup berlakunya Peraturan Menteri ini, meliputi:

  1. Formasi Pembina Jasa Konstruksi;
  2. Penyusunan, Penentuan, dan Prosedur Pengusulan Formasi Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi;
  3. Prosedur Pengusulan Formasi Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi;
  4. Pejabat yang menetapkan Formasi Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi.

Formasi Pembina Jasa Konstruksi ditetapkan sebagai berikut:

  1. di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, berjumlah paling sedikit 128 (seratus dua puluh delapan) dan paling banyak 292 (dua ratus sembilan puluh dua);
  2. di Instansi Pusat selain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, berjumlah paling sedikit 10 (sepuluh) dan paling banyak 20 (dua puluh);
  3. di setiap Provinsi, berjumlah paling sedikit 2 (dua) dan paling banyak 10 (sepuluh); dan
  4. di setiap Kabupaten/Kota, berjumlah paling sedikit 1 (satu) dan paling banyak 5 (lima).

Penyusunan, penentuan, dan prosedur pengusulan formasi jabatan fungsional Pembina Jasa Konstruksi meliputi:

  1. Pengangkatan PNS dalam jabatan Pembina Jasa Konstruksi dilakukan karena adanya lowongan formasi.
  2. Formasi JabFung Pembina Jasa Konstruksi masing-masing satuan organisasi berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan PNS sesuai dengan jabatan yang tersedia dengan memperhatikan informasi jabatan yang ada.
  3. Analisis kebutuhan dan penyediaan pegawai.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
  2. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
  3. Instansi Pembina Jabatan Fungsional Pembina Jasa Konstruksi adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.